Kata orang, bekerja harus profesional. Salah satunya adalah harus
bisa membedakan urusan pribadi dan urusan kerjaan. Secara teoritis, ini
benar dan sudah seharusnya dilakukan. Misal kalau ada kekerabatan atau
pertemanan, maka sebaiknya hal-hal tertentu seperti penyelesaian konflik
atau tender harus lebih hati-hati. Istilah kerennya sekarang, supaya
fair dan tidak ada conflict of interest. Apabila ada konflik dengan
rekan kerja, maka masalah antar pribadi (interpersonal) jangan terbawa
ke dalam pekerjaan. Be professional, istilahnya…..
Secara praktek, lain lagi ceritanya. Ini sepertinya memang mudah
dilakukan kalau untuk urusan-urusan kecil, seperti membatasi komunikasi
urusan kerjaan hanya di kantor saja. Tapi, kalau jujur, seberapa jelas
garis batas antar pribadi dan pekerjaan? Menurut saya, pandangan
teoritis-idealis inilah yang membuat kita punya harapan yang menyesatkan
(false expectation). Pada kenyataannya, pandangan-pandangan ini lebih
merupakan isapan jempol daripada prinsip yang bermanfaat. Ini yang
menyebabkan kita jadi tidak realistik dalam memahami dan mengatasi
masalah-masalah terkait urusan pribadi dan pekerjaan.
Setidaknya, ada 5 hal yang sering terlupakan karena kita sering terlalu berharap pada ‘isapan jempol’ :
1. Sadarilah, batasnya tidak pernah jelas. Se-profesional apapun kita, kita semua adalah pribadi-pribadi.
Batas antara urusan pribadi dan kerjaan itu tergantung konteks. Kalau
kita teller di Bank, teman kita yang antre ya sama saja dengan nasabah
lain. Tapi kalau kita pemilik Bank, teman bisa jadi potensial untuk
bisnis.
2. Konflik antar kolega selalu mencampuradukkan urusan pribadi dan pekerjaan.
Walau kita berkonflik dengan rekan kerja karena urusan pekerjaan, yang
berkonflik itu personal. Mengapa? Ya kalau tidak personal, pasti bisa
diselesaikan secara rasional dan tanpa ada beban emosional. Biasanya
yang begini ini nggak akan jadi konflik serius. Kalau sudah serius,
penyelesaiannya ada pada lingkar personal, baru pekerjaan beres.
3. Gender does matter!
Laki dan perempuan memang beda. Pola relasi dan interaksi kedua jenis
kelamin ini berbeda, dan ada norma-norma yang membuatnya tetap berbeda.
Misal, cewek-cewek bergosip di pantry pada jam istirahat akan dianggap
wajar, tapi bila cowok yang melakukannya tentu lain respon yang muncul.
Jadinya, kalau cewek banyak bicara soal urusan pribadi dengan rekan
kerja dekatnya, itu namanya peduli; kalau cowok, akan disebut, ada
gengsi yang bermain disini : ). Tapi perlu diingat, ini lebih pada
budaya yang berlaku juga.
4. The road to hell is paved by good intentions.
Niat baik dan kepedulian tidak selalu berujung pada sesuatu yang baik.
Kadang kepedulian bisa campur aduk dengam usil (nosy) atau memanjakan
(spoiling). Ketika kepedulian kita membuat orang lain jadi makin tidak
bertanggunjawab, kelak kita akan jengkel dengan tindakan kita sendiri.
Atau, malah orang lain jadi jengkel dengan kepedulian kita. ‘Kepedulian’
macam ini berlebihan, dan sebenarnya malah kontraproduktif. Pada
kondisi demikian. Maksud baik jadi buyar karena hasil yang tidak baik
atau di luar harapan.
5. Ketika terbentur tembok, itu bukan salah temboknya.
Hiduplah apa adanya, dalam artian ya kalau kita ‘terbentur’ ya jangan
sampai terulang. Seringkali melalui benturan antara relasi pribadi dan
pekerjaan, kita belajar mengenal siapa sesungguhnya diri kita dan siapa
sesungguhnya rekan kerja kita. Terimalah apa adanya, dan ketika ingin
membuat perubahan, terimalah pula bahwa kita hanya bisa merubah diri
kita. Orang lain bisa berubah kalau mereka mau. Kita bisa menginspirasi
orang lain untuk berubah, tapi mereka sendiri yang menentukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar