Kalau sudah
mendapat “cap” negatif, sekali salah selalu dianggap salah. Mengapa demikian?
Bagaimana cara mengubahnya?
Pernah ada
seseorang yang datang berkonsultasi. Ia mengeluh bahwa “apapun yang saya
lakukan, selalu dianggap tidak benar oleh orang-orang”. Saya tanya bagaimana
awal mulanya dulu dia bekerja di tempat itu. Ia mengaku dulu waktu awal masuk
memang tergolong teledor dan sering melupakan janji. Banyak orang yang protes
terhadap sikapnya itu. Protes dari orang-orang itu yang memaksanya untuk
berubah. “Saya sudah berusaha keras buat berubah. Tapi mereka tidak pernah
memberi kesempatan. Saya tetap dianggap sama seperti dahulu” katanya.
Pengalaman sebenarnya
menunjukkan kekuatan interaksi sosial dalam membentuk diri seseorang. Kita
tidak bisa semena-mena menentukan siapa diri kita. Siapa saya bukan hanya
didefinisikan oleh diri saya sendiri, tapi oleh orang-orang lain yang
berinteraksi dengan saya. Diri adalah kontruksi sosial.
Segelap apapun,
percayalah selalu ada cahaya...
Kekuatan
konstruksi sosial itu paling terasa dalam sebuah kelompok, baik itu sekolah,
tempat kerja atau komunitas bisnis, yang berinteraksi dalam jangka waktu lama. Misalnya,
“Si Bos X itu mesti seenaknya sendiri. Susah punya bos seperti dia”. “Ah
Si A ya gitu itu kelakukannya. Biarin aja. Gak mungkin berubah”.
Awalnya orang
terkejut tapi lama kelamaan menjadi biasa dan cuek terhadap Si A atau Bos X.
Lahirlah “cap” terhadap Si A atau Bos X. “Cap” itu akan digunakan untuk menilai
semua perilaku orang. Perilaku positif dinilai berdasarkan “cap” negatif akan
menghasilkan kesimpulan negatif. Akibatnya, orang yang salah selalu
dianggap salah di sebuah lingkungan sosial.
Apakah kita
pasrah begitu saja dicap negatif meski kita telah bertindak benar? Atau kita
harus pindah ke tempat kerja baru? Atau kita harus meninggalkan bisnis lama dan
membuka bisnis baru?
Memang lebih
mudah mengubah “cap” negatif dengan pindah lokasi (sekolah, tempat kerja atau
bisnis baru). Tapi pindah lokasi bukanlah tanpa biaya. Lagi pula, tidak ada
jaminan di sekolah, tempat kerja atau bisnis yang baru kita tidak mengalami
kejadian serupa. Hukum konstruksi sosial berlaku dimana saja.
Apa yang bisa
kita lakukan? Personal rebranding, mengubah citra diri di mata orang-orang,
baik di sekolah, tempat kerja atau lingkungan bisnis. Awali dengan perubahan
kesadaran diri. Kita bukan sekedar seekor lalat yang tak berdaya dalam jebakan
jaring laba-laba. Kesadaran diri sebagai lalat akan pasrah dengan apa yang
dikatakan lingkungan sosial, meskipun itu merugikan dirinya. Kita juga adalah
laba-laba yang terlibat dalam menyulam jaring-jaring sosial. Kita bukan hanya
obyek perubahan, tapi juga pelaku perubahan, yang bisa menyulam jaring-jaring
personal brand baru yang lebih baik.
Tidak cukup
dengan melakukan perbuatan baik. Tidak cukup dengan menunggu kebaikan orang
lain. Kita harus merebut kesempatan untuk membangun personal brand kita.
Bagaimana caranya?
1. Meminta
masukan
Bahkan namanya
teman pun tidak semuanya bisa tegas menyampaikan penilaiannya terhadap diri
kita. Kebanyakan menyimpan penilaian itu dalam hati dan memberikan pemakluman.
Oleh karena itu, penting untuk meminta masukan kepada orang-orang yang terkait
dengan pekerjaan atau bisnis kita. Jangan hanya orang dekat, tapi juga orang
yang jauh atau jarang berinteraksi dengan kita. Terkadang kejauhan membantu
orang melihat sesuatu dengan lebih jelas.
Tanyakan pada
mereka 5 hal yang perlu diubah dan 5 hal positif dari diri kita.
Dengarkan, tidak perlu klarifikasi atau mengkoreksi masukan. Cukup mendengar
dan mencatat. Cermati semua masukan. Identifikasi 1 poin penting dari 5
hal yang perlu diubah. Tanyakan pada diri, apa 1 perilaku baru yang perlu saya
lakukan? Identifikasi 1 poin penting dari 5 hal positif. Tanyakan pada
diri, apa 1 perilaku positif yang perlu saya perkuat? Praktekkan kedua perilaku
itu.
2. Lakukan
tindakan luar biasa
“Cap” sosial
itu mempunyai kekuatan luar biasa. Untuk mengubahnya tidak cukup dengan
tindakan biasa-biasa saja. Lakukan tindakan yang luar biasa. Kerjakan sebuah proyek
atau tunjukkan prestasi yang luar biasa. Bila berubah, lakukan perubahan yang
bisa mengejutkan semua orang. Lakukan perubahan yang menuntut perubahan konsep
diri.
Contoh, murid
nakal tadi langsung aktif di majalah sekolah. Dan ketika tidak ada yang mengajukan
diri menjadi pemimpin umum, ia pun nekat mengajukan diri. Konsekuensinya ia
harus belajar dan bekerja keras. Ia melakukan apapun agar menjadi pemimpin umum
yang baik. Hasilnya, orang-orang sesekolah memandangnya sebagai pemimpin umum
majalah sekolah, bukan sebagai murid tidak naik kelas yang dibuang ke sekolah
itu. Setidaknya, ia berhasil menghancurkan citra murid nakal di benaknya
sendiri.
3. Konsisten
dengan perilaku baru
Rebranding
bukan pemilu yang sehari selesai. Rebranding itu seperti menenun kain tenun
raksasa dengan jarum citra baru. Perlu energi dan waktu yang tidak sebentar.
Tantangannya, konsisten dengan perilaku baru, dengan citra baru. Bagaimana bisa
konsisten? Citra baru yang akan diciptakan harus sesuai dengan kata hati kita.
Bukan tipu muslihat, bukan basa-basi, tapi dari dasar hati.
Kita adalah
anyaman-anyaman sosial. Siapa kita bukan sepenuhnya kewenangan kita untuk
mendefinisikannya. Tapi kita bisa menenun ulang anyaman sosial itu agar lebih
bermanfaat bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain. Setidaknya, itu yang
saya praktekkan untuk membebaskan diri dari “cap” sebagai personal yang selalu salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar